Perubahan politik di Indonesia sejak bulan Mei 1998 merupakan babak baru
bagi penyelesaian masalah Timor Timur. Pemerintah Indonesia yang
dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie telah menawarkan pilihan, yaitu
pemberian otonomi khusus kepada Timor Timur di dalam Negara Kesatuan RI
atau memisahkan diri dari Indonesia.
Melalui perundingan yang disponsori oleh PBB, di New York,Amerika
Serikat pada tanggal 5 Mei 1999 ditandatangani kesepakatan tripartit
antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk melakukan jajak pendapat
mengenai status masa depan Timor Timur.
PBB kemudian membentuk misi PBB di Timor Timur atau United Nations Assistance Mission in East Timor (UNAMET). Misi ini bertugas melakukan jajak pendapat. Jajak pendapat diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Jajak pendapat diikuti oleh 451.792 penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria UNAMET. Jajak pendapat diumumkan oleh PBB di New York dan Dili pada tanggal 4 September 1999.
PBB kemudian membentuk misi PBB di Timor Timur atau United Nations Assistance Mission in East Timor (UNAMET). Misi ini bertugas melakukan jajak pendapat. Jajak pendapat diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Jajak pendapat diikuti oleh 451.792 penduduk Timor Timur berdasarkan kriteria UNAMET. Jajak pendapat diumumkan oleh PBB di New York dan Dili pada tanggal 4 September 1999.
Hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa 78,5% penduduk Timor Timur
menolak menerima otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5% menerima usul
otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah RI. Ini berarti Timor Timur
harus lepas dari Indonesia. Ketetapan MPR No. V/MPR/1999 tentang
Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur menyatakan mencabut berlakunya
Tap. MPR No. V/MPR/1978. Selain itu, mengakui hasiljajak pendapat
tanggal 30 Agustus 1999 yang menolak otonomi khusus.
Pengalaman lepasnya Timor Timur dari Indonesia menjadikan pemerintah lebih waspada terhadap masalah Aceh dan Papua. Sikap politik pemerintah di era reformasi terhadap penyelesaian masalah Aceh dan Papua dilakukan dengan memberi otonomi khusus pada dua daerah tersebut.
Pengalaman lepasnya Timor Timur dari Indonesia menjadikan pemerintah lebih waspada terhadap masalah Aceh dan Papua. Sikap politik pemerintah di era reformasi terhadap penyelesaian masalah Aceh dan Papua dilakukan dengan memberi otonomi khusus pada dua daerah tersebut.
Untuk lebih memberi perhatian dan semangat pada penduduk Irian Jaya, di
era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid nama Irian Jaya diganti
menjadi Papua. Pemerintah pusat juga memberi otonomi khusus pada wilayah
Papua.
Dengan demikian, pemerintah telah berusaha merespon sebagian keinginan
warga Papua untuk dapat lebih memaksimalkan segala potensinya untuk
kesejahteraan rakyat Papua sendiri. Meskipun begitu, masih saja terjadi
usaha untuk memisahkan diri dari NKRI, terutama yang dipimpin oleh Theys
H. Eluoy, Ketua Presidium Dewan Papua.
Gerakan Papua Merdeka sempat mereda setelah Theys H. Eluoy tewas
tertembak pada tanggal 11 November 2001 yang diduga dilakukan oleh
beberapa oknum TNI dari Satgas Tribuana X. Penyelesaian konflik seperti
itu sebenarnya tidak dikehendaki pemerintah, namun ada saja oknum yang
memancing di air keruh sehingga menimbulkan ketegangan.
Keinginan sebagian rakyat untuk merdeka telah menyebabkan pemerintah bertindak keras. Apalagi setelah pengalaman Timor Timur dan pemberian otonomi khusus pada rakyat tidak memberikan hasil maksimal. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, Aceh telah mendapat otonomi khusus dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, keinginan baik pemerintah kurang mendapat sambutan sebagian rakyat Aceh.
Keinginan sebagian rakyat untuk merdeka telah menyebabkan pemerintah bertindak keras. Apalagi setelah pengalaman Timor Timur dan pemberian otonomi khusus pada rakyat tidak memberikan hasil maksimal. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, Aceh telah mendapat otonomi khusus dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, keinginan baik pemerintah kurang mendapat sambutan sebagian rakyat Aceh.
Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap pada tuntutannya, yaitu ingin
Aceh merdeka. Akibatnya, di Aceh sering terjadi gangguan keamanan,
seperti penghadangan dan perampokan truk-truk pembawa kebutuhan rakyat,
serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh yang memihak
Indonesia.
Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah pusat dengan persetujuan DPR,
akhirnya melaksanakan operasi militer di Aceh. Hukum darurat militer
diberlakukan di Aceh. Para pendukung Gerakan Aceh Merdeka ditangkap.
Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan warga
sipil sehingga diharapkan dapat segera selesai.
Gejolak politik di era reformasi juga ditandai dengan banyaknya teror bom di Indonesia. Teror bom terbesar terjadi di sebuah tempat hiburan di Legian, Kuta, Bali yang menewaskan ratusan orang asing. Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom berikutnya sempat memporak-porandakan Hotel J.W. Marriot di Jakarta beberapa waktu lalu.
Gejolak politik di era reformasi juga ditandai dengan banyaknya teror bom di Indonesia. Teror bom terbesar terjadi di sebuah tempat hiburan di Legian, Kuta, Bali yang menewaskan ratusan orang asing. Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom berikutnya sempat memporak-porandakan Hotel J.W. Marriot di Jakarta beberapa waktu lalu.
Keadaan yang tidak aman dan banyaknya teror bom memperburuk citra
Indonesia di mata internasional sehingga banyak investor yang batal
menanamkan modal di Indonesia. Kondisi politik Indonesia yang kurang
menguntungkan tersebut diperparah dengan tidak ditegakkannya hukum dan
hak asasi manusia (HAM) sebagaimana mestinya.
Berbagai kasus pelanggaran hukum dan HAM terutama yang menyangkut
tokoh-tokoh politik, konglomerat, dan oknum TNI tidak pernah
terselesaikan secara adil dan jujur. Oleh karena itu, rakyat makin tidak
percaya pada penguasa meskipun dua kali telah terjadi pergantian
pimpinan negara sejak Soeharto tidak menjadi Presiden RI.
0 comments :
Post a Comment